The Factum Law Review Journal https://jurnal.unugo.ac.id/jflr/index.php/jflr en-US <p><a href="https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/" rel="license"><img src="https://licensebuttons.net/l/by-sa/4.0/88x31.png" alt="Creative Commons License" /></a><br />This work is licensed under a <a href="https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/" rel="license">Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License</a>.</p> gitoalanali@unugo.ac.id (Gito Alan Ali) gitoalanali@gmail.com (Gito Alan Ali) Wed, 23 Jul 2025 03:09:15 +0000 OJS 3.3.0.7 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU KORUPSI DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA DI SEKTOR SWASTA https://jurnal.unugo.ac.id/jflr/index.php/jflr/article/view/23 <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Tindak pidana korupsi tidak hanya terjadi di sektor publik, tetapi juga marak di sektor swasta, khususnya dalam proses pengadaan barang dan jasa. Dalam konteks ini, pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku korupsi di sektor swasta menjadi isu penting karena sering kali melibatkan kolaborasi antara pelaku dari unsur korporasi dan pihak lain di luar pemerintahan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perlunya penegakan hukum yang efektif terhadap pelaku tindak pidana korupsi di sektor swasta agar tercipta iklim bisnis yang sehat dan berintegritas. Studi ini secara khusus menelaah pertanggungjawaban pidana melalui analisis terhadap Putusan Nomor 56/Pid.Sus-TPK/2021/PN Bdg, yang menjadi salah satu contoh konkret kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di sektor swasta. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif-analitis. Data diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan yang relevan, doktrin hukum, serta analisis terhadap putusan pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana hakim memaknai dan menerapkan prinsip pertanggungjawaban pidana dalam konteks korupsi sektor swasta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa majelis hakim dalam putusan tersebut menilai adanya unsur kesengajaan dan penyalahgunaan wewenang oleh terdakwa dalam proses pengadaan barang dan jasa. Hakim mempertimbangkan peran aktif terdakwa, kerugian negara yang ditimbulkan, serta tidak adanya itikad baik dalam pelaksanaan kontrak. Putusan ini menunjukkan bahwa sektor swasta tidak kebal dari jerat hukum pidana korupsi, dan bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana tetap dapat diterapkan secara tegas terhadap pelaku korupsi di luar lingkup aparatur negara. </p> <p><strong>Kata kunci: Pertanggungjawaban pidana, tindak pidana korupsi, sektor swasta, pengadaan barang dan</strong><strong> jasa</strong></p> <p> </p> <p><strong><em>ABSTRACT</em></strong></p> <p><em>Corruption crimes do not only occur in the public sector but are also prevalent in the private sector, particularly in the procurement of goods and services. In this context, criminal liability for perpetrators of corruption in the private sector becomes a crucial issue, as it often involves collaboration between corporate actors and parties outside the government. This study is motivated by the need for effective law enforcement against corruption perpetrators in the private sector to foster a healthy and integrity-driven business climate. This research specifically examines criminal liability through an analysis of Court Decision Number 56/Pid.Sus-TPK/2021/PN Bdg, which serves as a concrete example of corruption in private sector procurement. This study employs a normative juridical approach with a descriptive-analytical specification. Data were obtained through literature review of relevant laws and regulations, legal doctrines, and analysis of court decisions. The aim of this study is to examine how judges interpret and apply the principle of criminal liability in the context of private sector corruption. The results show that the panel of judges in the decision found elements of intent and abuse of authority by the defendant during the procurement process. The court considered the defendant’s active role, the financial losses to the state, and the absence of good faith in the execution of the contract. This decision affirms that the private sector is not immune to criminal prosecution for corruption and that the principle of criminal liability can be firmly applied to perpetrators of corruption outside the scope of state officials.</em></p> <p><strong><em>Keywords: Criminal liability, corruption, private sector, procurement of goods and services</em></strong></p> N Rahman, MR Tahir Copyright (c) 2025 The Factum Law Review Journal https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 https://jurnal.unugo.ac.id/jflr/index.php/jflr/article/view/23 Wed, 18 Jun 2025 00:00:00 +0000 PENGAWASAN BADAN PEMUSYAWARATAN DESA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG TRANSPARAN DAN AKUNTABEL DITINJAU DARI UU DESA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA https://jurnal.unugo.ac.id/jflr/index.php/jflr/article/view/18 <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Transparansi dan akuntabilitas merupakan prinsip utama dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki peran strategis sebagai lembaga pengawas terhadap kinerja pemerintah desa, khususnya dalam memastikan keterbukaan pengelolaan anggaran, perencanaan program, serta partisipasi masyarakat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengawasan BPD Desa Dulangea, Kecamatan Botumoito, dapat mewujudkan pemerintahan desa yang transparan dan akuntabel. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan metode kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan anggota BPD, perangkat desa, dan tokoh masyarakat, serta dokumentasi terhadap regulasi dan laporan kegiatan desa. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menitikberatkan pada interpretasi hukum dan realitas pelaksanaan pengawasan di lapangan. Fokus penelitian diarahkan pada hubungan antara kewenangan BPD dengan tingkat transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan Desa Dulangea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran pengawasan BPD di Desa Dulangea masih belum berjalan optimal. Faktor penyebab utamanya antara lain rendahnya pemahaman hukum anggota BPD, minimnya pelatihan dan pembinaan dari pemerintah daerah, serta kurangnya koordinasi antara BPD dan pemerintah desa. Meskipun ada inisiatif pengawasan, namun belum didukung oleh sistem dan mekanisme yang terstruktur. Oleh karena itu, perlu penguatan kapasitas kelembagaan BPD agar mampu menjalankan fungsi pengawasan secara efektif sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan. </p> <p><strong>Kata kunci: Pengawasan, Badan Permusyawaratan Desa, Transparansi, Pemerintahan Desa.</strong></p> <p> </p> <p><strong><em>ABSTRACT</em></strong></p> <p><em>Transparency and accountability are fundamental principles in the implementation of democratic village governance, as mandated by Law Number 6 of 2014 concerning Villages. The Village Consultative Body (BPD) holds a strategic role as a supervisory institution overseeing the performance of village governments, particularly in ensuring openness in budget management, program planning, and community participation.This study aims to examine the extent to which the BPD in Dulangea Village, Botumoito District, exercises its oversight role in realizing transparent and accountable village governance. This research employs a juridical-empirical approach with qualitative methods. Data were collected through interviews with BPD members, village officials, and community leaders, as well as documentation of relevant regulations and village activity reports. The data analysis was conducted descriptively, focusing on legal interpretation and the actual practice of oversight in the field. The study emphasizes the relationship between BPD’s authority and the level of transparency and accountability in the governance of Dulangea Village. The findings reveal that the supervisory role of the BPD in Dulangea Village has not been fully optimized. Contributing factors include the limited legal understanding of BPD members, lack of training and guidance from the regional government, and weak coordination between the BPD and the village administration. Although there have been supervisory initiatives, they are not yet supported by a structured system or mechanism. Therefore, institutional capacity-building for the BPD is necessary to enable effective oversight in accordance with statutory mandates.</em></p> <p><strong><em>Keywords: Supervision, Village Consultative Body, Transparency, Accountability, Village Governance.</em></strong></p> T Ibrahim, A Mato, MR Tahir Copyright (c) 2025 The Factum Law Review Journal https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 https://jurnal.unugo.ac.id/jflr/index.php/jflr/article/view/18 Wed, 18 Jun 2025 00:00:00 +0000 IMPLEMENTASI PASAL 30 AYAT (1) UNDANG-UNDANG TAHUN 2022 TENTANG PEMENUHAN HAK RESTITUSI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL https://jurnal.unugo.ac.id/jflr/index.php/jflr/article/view/24 <p>ABSTRAK</p> <p>Penelitian ini berfokus pada Implementasi Pasal 30 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Pemenuhan Hak Restitusi bagi korban tindak pidana kekerasaan seksual. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana Implementasi Pasal 30 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Pemenuhan Hak Restitusi bagi korban tindak pidana kekerasaan seksual dan apa kendala dalam Implementasi Pasal 30 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Pemenuhan Hak Restitusi bagi korban tindak pidana kekerasaan seksual. Jenis penelitian ini adalah penelitian gabungan yakni hukum normatif dan empiris dengan menggunakan pendekatan perundang undangan dan pendekatan kasus. Teknik mengumpulan data berupa observasi, wawancara dan dokumentasi. Kemudian analisis data yang digunakan berupa analisis deskriptif kualitatif.</p> <p>Hasil penelitian ini menemukan bahwa pertama, Implementasi Pasal 30 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Pemenuhan Hak Restitusi bagi korban tindak pidana kekerasaan seksual di Kota Gorontalo dilihat dari seluruh indikator sudah baik dan mendapat pengaruh positif di lingkungan masyarakat. Kedua, kendala dalam Implementasi Pasal 30 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Pemenuhan Hak Restitusi bagi korban tindak pidana kekerasaan seksual Kota Gorontalo yakni didasarkan kepada kesadaran dan komitmen Penegakan Hukum Serta belum adanya payung hukum yang secara spesifik mengatur teknis pelayanan bagi korban kekerasaan seksual dan pemenuhan hak restitusi bagi korban perlu pendampinag yang serius dari penegak hukum sehingga hak korban benar benar terpenuhi secara hukum.</p> <p><strong>Kata kunci</strong>: <em>Implementasi, Restitusi, Korban, Tindak Pidana, Kekerasan Seksual</em></p> <p> </p> <p><strong><em>ABSTRACT</em></strong></p> <p><em>This research focuses on the implementation of Article 30 of Law Number 12 of 2022 concerning the Fulfillment of the Right to Restitution for Victims of Sexual Violence. The research problem is how Article 30 of Law Number 12 of 2022 concerning the Fulfillment of the Right to Restitution for Victims of Sexual Violence and what obstacles are encountered in implementing Article 30 of Law Number 12 of 2022 concerning the Fulfillment of the Right to Restitution for Victims of Sexual Violence. This research is a combination of normative and empirical legal approaches, utilizing both a legislative and case-based approach. Data collection techniques include observation, interviews, and documentation. The data analysis used is descriptive qualitative analysis.</em></p> <p><em>The results of this study indicate that, first, the implementation of Article 30 of Law Number 12 of 2022 concerning the Fulfillment of the Right to Restitution for Victims of Sexual Violence in Gorontalo City is good across all indicators and has had a positive impact on the community. Second, the obstacles in the implementation of Article 30 of Law Number 12 of 2022 concerning the Fulfillment of Restitution Rights for victims of sexual violence crimes in Gorontalo City are based on the awareness and commitment of Law Enforcement. As well as the absence of a legal umbrella that specifically regulates the technical services for victims of sexual violence and the fulfillment of restitution rights for victims requires serious assistance from law enforcement so that the victims' rights are truly fulfilled legally.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: Implementation, Restitution, Victims, Crime, Sexual Violence</em></p> KD Radjak, AI Sahabat, MR Tahir, GA Ali Copyright (c) 2025 The Factum Law Review Journal https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 https://jurnal.unugo.ac.id/jflr/index.php/jflr/article/view/24 Wed, 18 Jun 2025 00:00:00 +0000 IMPLEMENTASI PELAKSANAAN PERKAWINAN DIBAWAH UMUR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 https://jurnal.unugo.ac.id/jflr/index.php/jflr/article/view/25 <p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p>Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, dalam praktiknya, masih ditemukan kasus-kasus perkawinan di bawah umur, terutama di wilayah pedesaan seperti Desa Dulangea. Padahal, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara tegas menaikkan batas minimum usia perkawinan menjadi 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi pelaksanaan perkawinan di bawah umur di Desa Dulangea serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, apakah sudah sesuai dengan ketentuan hukum positif yang berlaku. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dikaitkan dengan data lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara langsung dengan aparat desa, tokoh agama, dan keluarga yang melakukan perkawinan anak, serta studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 di Desa Dulangea masih belum berjalan secara optimal. Perkawinan di bawah umur masih terjadi karena adanya faktor budaya, ekonomi, pendidikan yang rendah, serta lemahnya pengawasan dan sosialisasi hukum dari pemerintah setempat. Selain itu, masih terdapat pemahaman yang keliru di masyarakat terkait dispensasi kawin, yang seharusnya bersifat pengecualian namun justru menjadi praktik yang lazim. Penelitian ini merekomendasikan perlunya penguatan peran pemerintah desa dan lembaga keagamaan dalam memberikan edukasi hukum serta pendampingan kepada masyarakat guna menekan angka perkawinan anak. </p> <p><strong>Kata kunci: Perkawinan Anak, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, Dispensasi Nikah, Desa Dulangea</strong></p> <p> </p> <p><strong><em>ABSTRACT</em></strong></p> <p><em>Marriage is a physical and spiritual bond between a man and a woman as husband and wife, with the aim of forming a happy and everlasting family based on the belief in Almighty God. However, in practice, cases of underage marriage are still found, particularly in rural areas such as Dulangea Village. This is despite the enactment of Law Number 16 of 2019, which amended the provisions of Law Number 1 of 1974 by explicitly raising the minimum age for marriage to 19 years for both men and women. This study aims to examine the implementation of underage marriage in Dulangea Village and the influencing factors, as well as whether it aligns with the prevailing legal norms. This research employs an empirical juridical approach, combining the analysis of existing legal regulations with field data. Data collection techniques include observation, direct interviews with village officials, religious leaders, and families involved in child marriage, as well as document analysis. The results show that the implementation of Law Number 16 of 2019 in Dulangea Village has not been fully effective. Underage marriages continue to occur due to cultural traditions, economic pressure, low levels of education, and weak legal enforcement and outreach by local authorities. Furthermore, there is a widespread misunderstanding in the community regarding marriage dispensation, which is intended as an exception but has become a common practice. This study recommends strengthening the role of village government and religious institutions in providing legal education and community assistance to reduce the incidence of child marriage.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Child Marriage, Law Number 16 of 2019, Marriage Dispensation, Dulangea Village</em></p> A Latief, AI Sahabat, GA Ali Copyright (c) 2025 The Factum Law Review Journal https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0 https://jurnal.unugo.ac.id/jflr/index.php/jflr/article/view/25 Wed, 18 Jun 2025 00:00:00 +0000